
Rokok mungkin menjadi sesuatu yang paling dikenal dalam kehidupan masyarakat sosial hari ini, bahkan pada masyarakat suku pedalaman sekalipun. Selama ini rokok diklaim sebagai penyumbang terbesar dalam pendapatan pajak yang diterima negara, meskipun sebagian golongan menganggap pendapatan yang dihasilkan dari rokok tidak sesuai dengan pengeluaran yang diakibatkan oleh rokok.
Dari awal hukum merokok sudah menjadi behan perdebatan yang alot. perdebatan yangmeliputi bahaya atau tidaknya merokok, kedudukan merokok dalam hukum fiqh sampai untung dan rugi yang di sebabkan oleh rokok. terlepas dari semua perdebatan itu tak dapat dipungkiri bahwa rokok memiliki kedudukan yang tidak bisa dianggap sepele dalam menunjang pendapatan negara. hal ini bisa dilihat dari seberapa besar petani tembakau yang menggantungkan hidupnya pada industri rokok,belum lagi buruh pabrik rokok yang sebagian besar adalah generasi bangsa yang memiliki pendidikan yang minim yang hampir bisa dipastikan merupakan calon-calon pengangguran.
Muhammadiyah sendiri memiliki sejarah menyangkut hukum merokok. pada 2005 Muhammadiyah melalui PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa kedudukan merokok dalam Islam adalah MUBAH namun kemudian pada beberapa waktu yang lalu majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa Haram sehingga mencuatkan kembali polemik yang memang sudah lama ada.
Keputusan ini merupakan hal yang cukup baik bagi kesehatan dan pengelauran ekonomi jika dapat diterapkan secara maksimal. Namun, setiap kebijakan yang telah diputuskan tentu akan menimbulakan pro dan kontra bagi orang atau lembaga yang akan menjalankannya dan hal ini sangat wajar terjadi. Artinya dengan adanya perdebatan maka kita akan menemukan satu titik yang lebih relevan untuk diterapkan. Begitu juga dengan adanya putusan ini, selain manfaat ada juga dampak lain yang akan dirasakan oleh beberapa pihak tertentu yang berkaitan dengan rokok seperti misalnya para petani tembakau atau para pemilik pabrik rokok tersebut.
Dapat dikatakan bahwa dengan adanya putusan tersebut maka para petani tembakau yang telah bercocok tanam tembakau harus dipaksa untuk meninggalkannya atau beralih pada bidang lain. Begitu juga pemilik pabrik, mereka harus mem-PHK para buruhnya atau bahkan menutup pabriknya karena tidak lagi diizinkan untuk memproduksi rokok. Kedua pihak inilah yang sangat merasakan dampaknya karena mereka akan kehilangan mata pencaharianya.
Jika hal tersebut tidak ditanggapi secara serius maka tingkat pengangguran akan semakin meningkat yang nantinya juga berimbas pada perubahan angka kemiskinan. Diakui atau tidak, diberlakukannya fatwa haram oleh muhammadiyah, menimbulkan efek negative bagi para petani. Dilihat dari hubungan produksi antara produsen rokok dengan petani telah memberikan penghasilan bagi para petani dan buruh dari produsen rokok tersebut.
Melihat hal ini maka alangkah bijaknya bila sebelum mengeluarkan Fatwa Haram Rokok maka Muhammadiyah harus sudah memiliki solusi yang bisa mengatasi permasalahan ini. Minimal Muhammadiyah harus menunda fatwanya dan sebelumnya sudah menjalankan aksi proteksi melalui berbagai macam program konversi yang memang harus sudah berjalan dan dapat dipastikan memberikan keuntungan pada pihak yang awalnya dirugikan oleh fatwa yang dikeluarkan.